BRAVO13.ID - Samarinda Pemilihan Umum (Pemilu) telah selesai, tetapi hiruk pikuknya masih terasa. Rabu lalu (14/2/2024), Indonesia menyaksikan momen penting dalam demokrasi, namun juga ujian bagi kesehatan mental masyarakat. Fenomena Election Stress Disorder mulai menunjukkan dampaknya, tidak hanya pada politikus tetapi juga pendukungnya.
Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa dari Rumah Sakit YASRI, Citra Fitri Agustina, menjelaskan bahwa istilah Election Stress Disorder diperkenalkan pertama kali oleh psikolog Amerika, Steven Stosny, pada tahun 2016. Ia mengungkapkan bahwa kondisi stres terkait perhelatan politik dapat merajalela jika tidak segera ditangani.
Menurut survei di Amerika pada tahun 2016, 52 persen warganya merasakan stres yang signifikan terkait pemilihan presiden. Kesulitan tidur, gangguan mental, dan ketidakseimbangan dalam rutinitas sehari-hari menjadi akibatnya. Dokter Citra menjelaskan bahwa gejala Election Stress Disorder meliputi kesulitan tidur, rasa cemas yang berlebihan, dan mudah tersinggung.
Dalam menghadapi fenomena ini, masyarakat disarankan untuk mengelola informasi dengan bijak dan berhati-hati terhadap informasi yang tidak valid atau menyesatkan. Dokter juga menyarankan untuk mencari sumber informasi yang tepercaya serta memperhatikan keseimbangan antara aktivitas online dan offline, dengan menjaga hubungan sosial dan melakukan aktivitas fisik.
Kesadaran akan kondisi stres pasca-Pemilu dan upaya mencari bantuan jika diperlukan menjadi langkah penting untuk menjaga kesejahteraan mental individu dan masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, pentingnya saling menghargai pilihan politik masing-masing dan tidak memaksakan pandangan kepada orang lain juga ditekankan.
"Kita harus mempercayai semua yang mengajukan diri menjadi kandidat berarti orang yang mau mengabdikan diri kepada negara dan bangsa ini. Kita perlu memaklumi, pilihan-pilihan itu tidak salah dan memang saling menghargai pilihan orang lain, tidak memaksa diri dengan pilihan kita kepada orang lain," tutupnya. (*)